Judul : RUMAH DAN PROYEK RUMAH TINGGAL
link : RUMAH DAN PROYEK RUMAH TINGGAL
RUMAH DAN PROYEK RUMAH TINGGAL
oleh: David Hutama
(Pengantar untuk buku 'Studio Talk : Home'. UPH Press 2012)
Image by Free-Photos from Pixabay |
Mungkin rumah tinggal merupakan proyek arsitektur yg paling populer, tak jarang kita dengar serta memasyarakat. Selain sebab merupakan tahap dari kebutuhan primer kita, rumah tinggal seakan menawarkan ruang verbal bagi ego si penghuni serta si arsitek. Proses perancangannya pun cenderung personal serta informal, tak sama dari proyek-proyek arsitektur publik misalnya, yg ketat dengan standar serta aturan-aturan . Bagi para arsitek muda, rumah tinggal juga biasanya merupakan proyek perdana yg mereka kerjakan.
Namun rumah tinggal ini sebenarnya merupakan suatu proyek arsitektur yg termasuk paling kompleks. Ketiadaan standar serta aturan-aturan yg tegas dalam proyek rumah tinggal membikin proyek ini menjadi tak mudah untuk dinilai baik/tidak baik alias berhasil/tidak berhasil. Dialektika ego antara arsitek serta si calon penghuni (diasumsikan juga merupakan pemiliknya), efisiensi dari programing serta kepekaan skala serta proporsi dari arsitek dalam membentuk ruang merupakan hal-hal yg susah dirumuskan standarnya serta rutin berada di ranah subyektif serta personal.
Kompleksitas dari proyek rumah tinggal ini tak lain sebab tak dimungkinkannya penyederhanaan persoalan kebutuhan dari penghuni, bahwa tiap penghuni merupakan individu berdikari serta unik. Ada kebutuhan yg tak semata-mata mampu diukur dari tak sedikit alias luas-sempit suatu ruangan. Rumah tinggal memiliki suatu tuntutan akan hadirnya nilai tertentu yg disebut ‘rumah/betah’ (home). Kehadiran suatu nilai ‘rumah’ ini merupakan suatu bacaan yg kerap bergulir. Jika kita mencari kata ‘home’ pada wikipedia akan ditemukan suatu pernyataan yg luar biasa bahwa istilah ‘rumah/betah’ alias ‘home’ mampu dipakai pada beberapa jenis hunian dari rumah jompo hingga penjara..”
Istilah ‘rumah/betah’ juga rutin memiliki makna kepemilikan serta keintiman bagi si pemilik/ penghuninya. Heidegger, seorang filsuf Jerman mengelaborasi bacaan ini dalam tulisannya ‘building, dwelling, thinking’. Heidegger mendekati nilai serta makna kepemilikan serta keintiman ini dengan konsep ‘menghuni’ (to dwell). Ia memisahkan bangunan dengan apa yg terjadi didalamnya. Bangunan tak lain merupakan suatu cangkang alias pelingkup fisik saja. Tanpa terjadinya suatu nilai ‘menghuni’ jadi bangunan tersebut bukan suatu hunian. Kualitas ‘menghuni’ erat kaitannya dengan hadirnya keberadaan penghuni dalam ruang-ruang dalam bangunan tersebut. Bagaimana penghuni kehidupan penghuni mengalir dengan baik dalam ruang-ruang tersebut menjadi penting serta vital.
Permasalahnya merupakan sulitnya mendefinisikan ‘kehidupan’ serta ‘eksistensi’ dari seseorang alias sekelompok orang. Kadang alias jangan-jangan selalu, seseorang alias sekelompok orang-orang tersebut pun belum/tidak akan sempat mampu mendefinisikannya. Dalam Timeless way of building, Christopher Alexander berupaya mencari suatu metode untuk ‘memetakan’ kehidupan serta keberadaan dari pemakai ruang tersebut. Dengan harapan, lewat peta ini, nilai ‘menghuni’ serta ‘rumah/betah’ hadir dengan sendirinya dalam bangunan. Alain de botton dalam survei nya terhadap masyarakat kota London mengenai selera serta kebutuhan mereka mengenai rumah tinggal menemukan bahwa rutin ada kesenjangan antara nilai ‘menghuni’ serta ‘rumah/betah’ yg sebenarnya mereka butuhkan serta apa yg dibayangkan. Apa yg mereka bayangkan cenderung romantis, berorientasi pada masa lalu alias merujuk pada satu ideal yg hadir dalam masyarakat dalam periode tertentu. Sedangkan sebenarnya nilai ‘menghuni’ yg mereka butuhkan bergerak dari konteks ketika ini ke masa depan. Paradoks ini menjadi bertambah kompleks apabila kita tambahkan peran perancang dalam faktor ini arsitek dalam hubungan penghadiran nilai ‘menghuni’ .
Jika kita merujuk pada paparan tersebut jadi kehadiran sosok arsitek dalam perancangan rumah tinggal itu problematik. Arsitek merupakan satu pihak yg berada di luar dari hubungan penghuni-menghuni hunian melainkan diminta berperan untuk mewujudkan proses serta nilai ‘menghuni’ ini. Kalimat ini seakan sederhana serta lugas apabila diasumsikan satu kondisi; arsitek tak berego, pasif, serta bersifat murni fasilitator. Ini merupakan keadaan ideal yg pada praktiknya susah terjadi. Walau arsitek berupaya menyelami ‘kehidupan’ calon penghuni (dengan anggapan berhasil), pada ketika proses perancangan dimulai romantisme dari dia akan perlahan menyusup serta mungkin mengambil alih fakta-fakta yg diselami sebelumnya.
Pertanyaan-pertanyaan yg akan timbul kemudian merupakan “Apa perlunya seorang arsitek dalam perancangan rumah tinggal?” toh, apa yg diperlukan pun susah dicapai alias kalaupun tercapai itu hanya persoalan pertaruhan serta tak ada jaminan. Namun apabila kita pergi dari suatu landasan bahwa definisi dari nilai ‘menghuni’ serta ‘rumah’ bagi tiap individu itu tetap bergerak serta mampu terbentuk, jangan-jangan upaya menyelami apa yg diimpikan serta diharapkan dari calon penghuni merupakan percuma. Karena tiap skema perancangan yg diusulkan memiliki kemungkinan membentuk serta mengubah persepsi mereka mengenai nilai tersebut. Pertanyaan lain yg timbul kemudian merupakan “Bagaimana dengan rumah susun alias proyek rumah tinggal massal ?” Sebuah paradoks persoalan baru akan muncul.
“Bagaimana merancang sebuah kualitas ‘rumah’ yang personal dan unik dalam sebuah proyek yang massal dan universal?”.
Demikianlah Artikel RUMAH DAN PROYEK RUMAH TINGGAL
Anda sekarang membaca artikel RUMAH DAN PROYEK RUMAH TINGGAL dengan alamat link https://sopasopi.blogspot.com/2021/01/rumah-dan-proyek-rumah-tinggal.html
0 Response to "RUMAH DAN PROYEK RUMAH TINGGAL"
Post a Comment